Ada 3 hal yang secara
substansial menjadi doktrin teologis Martin Luther dalam usahanya memperbarui
Gereja, antara lain:
1) Ajaran tentang yustifikasi (pembenaran) yang radikal
atas manusia melalui sola fide.
2)
Ajaran tentang infalibilitas (ketidaksesatan) Alkitab, yang dipandang sebagai
satu-satunya sumber kebenaran.
1.
Sola Fide (Hanya Iman)
Doktrin tradisional Gereja mengatakan bahwa manusia
diselamatkan oleh iman dan karya-karyanya. Hal itu berarti imam menjadi nyata
sungguh-sungguh ketika diwujudkan dan diungkapkan secara konkret dalam
karya-karya. Dengan tegas, Luther menanggapi doktrin tradisional tersebut
dengan cara menentang nilai karya manusia dan hanya membenarkan nilai iman.
Perlawanan Luther juga dilatarbelakangi oleh rasa
frustasi secara psikologis yang mendalam yang ia rasakan karena berpikir bahwa
ia tidak mampu memperoleh keselamatan kekal dengan usaha dan karya manusiawinya
sendiri. Ia mengalami sendiri suasana batin bahwa ia tetap berdosa meskipun
telah melakukan banyak usaha untuk hidup baik dan saleh. Meskipun telah
berpuasa, menjalani hidup mati raga, berziarah dan menerima sakramen, Luther
tetap merasa jatuh dan jatuh lagi ke dalam dosa yang sama. Kemudian, ia
berkeyakinan bahwa kegagalan terus menerus untuk hidup baik tersebut
menunjukkan rusaknya kodrat manusia pada akarnya. Manusia itu sedemikian rusak
kodratnya, sehingga usaha apapun yang dilakukan untuk hidup baik tidak akan
berhasil.
Selanjutnya, rasa frustrasi tersebut membawanya pada
sebuah solusi, yakni hanya dengan beriman pada Allah saja, keselamatan dapat diperoleh.
Baginya, imanlah yang membebaskan dan secara radikal mencabut kekhawatiran
hidup insan beriman. Motivasi konseptual doktrin Luther adalah Allah
menciptakan manusia “dari ketiadaan”. Dengan demikian, manusia tidak akan mampu
melakukan hal baik yang dinilai di hadirat Allah. Luther juga berpendapat bahwa
Iustitia Dei (keadilan Allah)
semata-mata dianugerahkan oleh Allah kepada manusia. Keadilan ini tanpa
menuntut jasa dan hak manusia. Manusia mendapatkan keadilan Allah bukan karena
karya-karyanya, melainkan karena kepastian akan keselamatan yang dilakukan oleh
Allah. Jadi, semakin ditegaskan bahwa karya insani manusia tidak dapat
menyelamatkan manusia.
2.
Sola Scriptura (Hanya Alkitab)
Alkitab merupakan asas tunggal hidup menggereja
karena berisi semua kebenaran yang diwahyukan Allah. Dengan kata lain, selain
Alkitab, tidak ada sumber-sumber keselamatan, termasuk tradisi kristiani
sekalipun. Baginya, tradisi kristiani hanyalah ciptaan manusia yang tidak dapat
dijadikan sumber keselamatan. Semua yang dapat diketahui tentang Allah dan hubungan
antara manusia dengan Allah sudah difirmankan dalam Alkitab secara terbuka. Dengan
demikian, segala macam ajaran Gereja, Filsafat-Teologi dan Hukum Kanonik Gereja
ditolak dan dipandang lebih mengaburkan daripada menguatkan cahaya Injil yang
dipancarkan Allah kepada orang beriman melalui Alkitab. Oleh sebab itu, Luther
mengganti struktur hierarki Gereja dengan menonjolkan peranan jemaat awam dan
fungsi imamat semua orang beriman dalam kehidupan Gereja. Dengan demikian,
hanya Alkitab saja yang memiliki otoritas infalibel (tidak dapat sesat).
Bagi Luther, peran para hierarki Gereja Katolik
justru dapat menghalangi manusia menghalangi Alkitab secara benar, Maka dari
itu, Luther menghendaki supaya Alkitab dapat dipahami oleh semua orang. Untuk
mencapai tujuan tersebut, ia menerjemahkan Alkitab ke dalam Bahasa Jerman,
karena Alkitab berbahasa Latin (Vulgata) tidak dapat dipahami oleh semua orang,
kecuali para klerus, biarawan dan biarawati. Melalui Alkitab yang dianggap
sebagai satu-satunya sumber kebenaran itu, Luther berusaha mencari alasan yang
tepat mengenai yustifikasi iman dengan tujuan untuk memberi dasar yang kokoh
pada ajaran dan doktrinnya.
3.
Sola Gratia (Hanya Anugrah)
Dalam imannya, manusia sudah dapat merasa dibenarkan
oleh Allah karena rahmat-Nya semata-mata. Berkenaan dengan cara berpikir ajaran
tersebut, selanjutnya tidak dibutuhkan lagi perantara manusia dengan Allah,
misalnya: peran dan fungsi imam yang menuntut ajaran Gereja Katolik supaya dapat
menyalurkan rahmat pengampunan dosa dari Allah kepada manusia. Luther yakin
bahwa setiap individu beriman berhadapan langsung dengan Allah sendiri dan
secara pribadi bertanggungjawab kepada-Nya.
Pada akhir abad pertengahan sampai awal zaman renaissance, peran dan kredibilitas para
klerus semakin menurun. Kesucian Gereja Katolik ternoda oleh kebobrokan yang
dilakukan oleh para klerus pada waktu itu, terutama praktek komersialisasi
indulgensi. Itulah yang mendorong Luther menolak Gereja yang hierarkis seperti
yang diperlihatkan oleh Gereja Katolik Roma.
Perlawanan
Luther ditunjukkan melalui pemasangan surat pernyataan sikapnya yang berisi 95
dalil di pintu masuk Gereja biara di kota Wittenberg, Jerman pada tanggal 31
Oktober 1517. Dalam surat itu, Luther mengecam praktek Gereja Katolik yang
memperdagangkan surat pengampunan dosa dengan tujuan untuk mendapatkan uang
bagi pembangunan berbagai proyek gerejawi, misalnya: pembangunan gereja-gereja
megah, termasuk Gereja Basilika St. Petrus di Vatikan. Situasi yang terjadi
pada waktu itu ialah banyak orang sederhana percaya bahwa dengan membeli surat
itu, mereka akan memperoleh keselamatan karena dosa-dosa mereka telah
terampuni. Hal itu berarti keselamatan manusia merupakan hasil prestasi manusia
itu sendiri dan bukan lantaran rahmat Allah.
Kekecewaan Luther terhadap para klerus tersebut
menjadi dasar pemikirannya bahwa manusia beriman tidak membutuhkan mediasi
insani.
No comments:
Post a Comment