Valentine's Day Pumping Heart

Saturday, June 20, 2015

Pokok-Pokok Ajaran Martin Luther



Ada 3 hal yang secara substansial menjadi doktrin teologis Martin Luther dalam usahanya memperbarui Gereja, antara lain: 
1) Ajaran tentang yustifikasi (pembenaran) yang radikal atas manusia melalui sola fide.  
2) Ajaran tentang infalibilitas (ketidaksesatan) Alkitab, yang dipandang sebagai satu-satunya sumber kebenaran. 
3) Ajaran tentang imamat umum dalam hubungannya dengan kuasa untuk menafsirkan Alkitab. 
1.      Sola Fide (Hanya Iman)
Doktrin tradisional Gereja mengatakan bahwa manusia diselamatkan oleh iman dan karya-karyanya. Hal itu berarti imam menjadi nyata sungguh-sungguh ketika diwujudkan dan diungkapkan secara konkret dalam karya-karya. Dengan tegas, Luther menanggapi doktrin tradisional tersebut dengan cara menentang nilai karya manusia dan hanya membenarkan nilai iman.
Perlawanan Luther juga dilatarbelakangi oleh rasa frustasi secara psikologis yang mendalam yang ia rasakan karena berpikir bahwa ia tidak mampu memperoleh keselamatan kekal dengan usaha dan karya manusiawinya sendiri. Ia mengalami sendiri suasana batin bahwa ia tetap berdosa meskipun telah melakukan banyak usaha untuk hidup baik dan saleh. Meskipun telah berpuasa, menjalani hidup mati raga, berziarah dan menerima sakramen, Luther tetap merasa jatuh dan jatuh lagi ke dalam dosa yang sama. Kemudian, ia berkeyakinan bahwa kegagalan terus menerus untuk hidup baik tersebut menunjukkan rusaknya kodrat manusia pada akarnya. Manusia itu sedemikian rusak kodratnya, sehingga usaha apapun yang dilakukan untuk hidup baik tidak akan berhasil.
Selanjutnya, rasa frustrasi tersebut membawanya pada sebuah solusi, yakni hanya dengan beriman pada Allah saja, keselamatan dapat diperoleh. Baginya, imanlah yang membebaskan dan secara radikal mencabut kekhawatiran hidup insan beriman. Motivasi konseptual doktrin Luther adalah Allah menciptakan manusia “dari ketiadaan”. Dengan demikian, manusia tidak akan mampu melakukan hal baik yang dinilai di hadirat Allah. Luther juga berpendapat bahwa Iustitia Dei (keadilan Allah) semata-mata dianugerahkan oleh Allah kepada manusia. Keadilan ini tanpa menuntut jasa dan hak manusia. Manusia mendapatkan keadilan Allah bukan karena karya-karyanya, melainkan karena kepastian akan keselamatan yang dilakukan oleh Allah. Jadi, semakin ditegaskan bahwa karya insani manusia tidak dapat menyelamatkan manusia.


2.      Sola Scriptura (Hanya Alkitab)
Alkitab merupakan asas tunggal hidup menggereja karena berisi semua kebenaran yang diwahyukan Allah. Dengan kata lain, selain Alkitab, tidak ada sumber-sumber keselamatan, termasuk tradisi kristiani sekalipun. Baginya, tradisi kristiani hanyalah ciptaan manusia yang tidak dapat dijadikan sumber keselamatan. Semua yang dapat diketahui tentang Allah dan hubungan antara manusia dengan Allah sudah difirmankan dalam Alkitab secara terbuka. Dengan demikian, segala macam ajaran Gereja, Filsafat-Teologi dan Hukum Kanonik Gereja ditolak dan dipandang lebih mengaburkan daripada menguatkan cahaya Injil yang dipancarkan Allah kepada orang beriman melalui Alkitab. Oleh sebab itu, Luther mengganti struktur hierarki Gereja dengan menonjolkan peranan jemaat awam dan fungsi imamat semua orang beriman dalam kehidupan Gereja. Dengan demikian, hanya Alkitab saja yang memiliki otoritas infalibel (tidak dapat sesat).
Bagi Luther, peran para hierarki Gereja Katolik justru dapat menghalangi manusia menghalangi Alkitab secara benar, Maka dari itu, Luther menghendaki supaya Alkitab dapat dipahami oleh semua orang. Untuk mencapai tujuan tersebut, ia menerjemahkan Alkitab ke dalam Bahasa Jerman, karena Alkitab berbahasa Latin (Vulgata) tidak dapat dipahami oleh semua orang, kecuali para klerus, biarawan dan biarawati. Melalui Alkitab yang dianggap sebagai satu-satunya sumber kebenaran itu, Luther berusaha mencari alasan yang tepat mengenai yustifikasi iman dengan tujuan untuk memberi dasar yang kokoh pada ajaran dan doktrinnya.

3.      Sola Gratia (Hanya Anugrah)
Dalam imannya, manusia sudah dapat merasa dibenarkan oleh Allah karena rahmat-Nya semata-mata. Berkenaan dengan cara berpikir ajaran tersebut, selanjutnya tidak dibutuhkan lagi perantara manusia dengan Allah, misalnya: peran dan fungsi imam yang menuntut ajaran Gereja Katolik supaya dapat menyalurkan rahmat pengampunan dosa dari Allah kepada manusia. Luther yakin bahwa setiap individu beriman berhadapan langsung dengan Allah sendiri dan secara pribadi bertanggungjawab kepada-Nya.
Pada akhir abad pertengahan sampai awal zaman renaissance, peran dan kredibilitas para klerus semakin menurun. Kesucian Gereja Katolik ternoda oleh kebobrokan yang dilakukan oleh para klerus pada waktu itu, terutama praktek komersialisasi indulgensi. Itulah yang mendorong Luther menolak Gereja yang hierarkis seperti yang diperlihatkan oleh Gereja Katolik Roma.
 Perlawanan Luther ditunjukkan melalui pemasangan surat pernyataan sikapnya yang berisi 95 dalil di pintu masuk Gereja biara di kota Wittenberg, Jerman pada tanggal 31 Oktober 1517. Dalam surat itu, Luther mengecam praktek Gereja Katolik yang memperdagangkan surat pengampunan dosa dengan tujuan untuk mendapatkan uang bagi pembangunan berbagai proyek gerejawi, misalnya: pembangunan gereja-gereja megah, termasuk Gereja Basilika St. Petrus di Vatikan. Situasi yang terjadi pada waktu itu ialah banyak orang sederhana percaya bahwa dengan membeli surat itu, mereka akan memperoleh keselamatan karena dosa-dosa mereka telah terampuni. Hal itu berarti keselamatan manusia merupakan hasil prestasi manusia itu sendiri dan bukan lantaran rahmat Allah.
Kekecewaan Luther terhadap para klerus tersebut menjadi dasar pemikirannya bahwa manusia beriman tidak membutuhkan mediasi insani.

No comments:

Post a Comment